Sabtu, 13 September 2014

Hanya Sebuah Catatan












Saya terbangun di tengah keheningan, sejenak panik mengira-ngira waktu: pukul berapa ini? Begitu banyak yang harus saya selesaikan, dan saya malah terlena untuk membaringkan tubuh sehabis maghrib. Saya mencuci muka, segera mengambil air wudlu kemudian menunaikan sholat Isya'.

Pukul duabelas lebih tiga puluh menit. Tetiba saja saya menekuri betapa kosongnya hidup saya akhir-akhir ini. Saya bahkan belum bertemu Ayah hari ini, belum berbincang sedikitpun pada saudara-saudara saya. Jika boleh saya katakan, haha, sejak saya kuliah, saya menjadi orang yang anti sosial. Sibuk dengan urusan sendiri, sok merasa hidupnya paling sulit dan memberi pemakluman pada diri sendiri untuk menjadi orang yang tak acuh.

Kemudian saya bertanya-bertanya: Apa yang saya cari dalam hidup ini? Nyatanya saya tahu, hidup saya bukan sekadar untuk membaca materi kuliah, menghapal anatomi, bergulat dengan jurnal-jurnal berbahasa ribet. Apakah dengan tidak inhal praktikum saya akan bahagia? Dan adakah itu hanyalah satu-satunya cara untuk bahagia? Padahal jika saya sudah melewati masa-masa itu, toh inhal praktikum tak menjadi masalah.

Sejujurnya saya takut terlampau menganggap perkuliahan --terutama di jurusan yang saya masuki-- adalah  hal yang super serius dan memerlukan pengorbanan sekaligus perubahan besar. Tak apa-apa jika perubahan itu menimbulkan kebaikan, tapi yang saya rasakan, saya mungkin menganggap perkuliahan ini adalah hal nomor satu sedangkan yang lain tidak. Saya dipaksa lupa oleh ego saya sendiri: Hai, engkau masih memiliki keluarga, memiliki sahabat-sahabat, memiliki tetangga dan adik-adik TPA yang senantiasa menunggu hadirmu.

Saya takut saya mis-orientasi terhadap apa yang saya jalani kali ini.

"Jangan membuang waktu hanya untuk mencari nilai," seorang dosen mengatakan hal itu kemarin. Dan saya pikir itu benar. Memang bukan nilai yang kita cari, melainkan ILMU. Dan menjaga niat, sejak dulu saya pikir adalah hal yang paling susah nan menjemukan: ia tak terlihat, tapi ia ada, ia tidak teraba, namun ia nampak dalam rasa. 

Begitulah. Kali ini sejenak saya berpikir ulang. Lagi. Tentang apa yang sesungguhnya sudah, sedang, dan akan saya lakukan. Bahwa menjaga yang tak tampak ternyata jauh lebih susah--dan lebih menantang.

Semoga tak sekadar berhenti dalam angan.


nurrahma, 
YK, September 14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana menurutmu?