Saya sedang asyik
terbius dengan cerita cerita zaman kemerdekaan, kisah-kisah bikinan penulis
zaman orde baru. Saya juga tidak tahu mengapa. Mulanya, saya menemukan buku
bersampul abu-abu: Cerita Pendek
Indonesia IV, Satyagraha Hoerip, editor. Saya temu ia di rak kayu di ruang
santai. Baru-baru ini saya dibikin tercengang karena mengetahui banyak buku
bagus yang saya kira hanya ada di perpustakaan sekolah, ternyata ada di rumah
saya! Heran sungguh, kebanyakan buku-buku lawas, tapi itu yang membuat mereka
susah dicari lagi.
Memang, abang
saya sedang keranjingan memindah-mindah barang, merapikan perabot, membenahi
rumah. Bagus, pikir saya. Sayang,
saya belum banyak membantu.
Nah, karena
pindah memindah itulah, rak-rak buku ditaruh ruang santai, dan seringlah saya
temukan buku yang sudah lama pengin saya baca: Mestakung, Ibnu Batutah, Trilogi Negeri 5 Menara, Sejarah Muhammad,
Riyadush Sholihin, dan masih banyak
lagi.
Sialnya siang
itu, karena suasana sehabis UAS begitu melenakan diri saya, akhirnya saya
diketemukan dengan sebuah buku cerita pendek tadi. Saya amati sampulnya. Ada
nama-nama pengarang yang saya ingin baca karyanya: Seno Gumira Adjidarma, Emha
Ainun Nadjib, Korrie Layun Rampan! Buru buru saya baca sinopsis di sampul belakang –barangkali ada cuilan atau bocoran
karya penulis-penulis itu. Tanpa pikir panjang, saya buka halamannya satu
persatu. Kertasnya sudah buluk, cetakan tahun 1986. Makin tua, makin tertantang
diri saya untuk membaca. Dan tara!
Memang saya temu nama pengarang tadi di daftar isi! Sudah lama saya tak membaca
sastra-sastra lama, terakhir hanyalah Salah
Asuhan dan itupun saya enggan menghabisinya. Pasti membaca cerita pendek
ini lebih menarik.
Saya belum
selesai membaca, baru berhasil menelan sembilan cerita: Duka (Wilson Nadeak), Seorang
Calon (Usamah), Ayah (Nyoman Rasta Sindhu), Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (Kuntowijoyo), Penjual Kapas (M. Abnar Romli), Kalau
Boleh Memilih Lagi (Putu Wijaya), Pancing
(PC. Rahardja), Ancaman-Ancaman
(Julius R. Siyaranamual), Ayahku
(Udin Lubis).
Belum ada separuh
buku saja saya sudah begitu semangatnya. Dibikin meletup-letup karena ide yang
mereka jadikan cerita sungguh anehnya, tak biasa. Cerita cerita tentang
pemberontakan, kematian, kebebasan, mistis, bahkan bom, dari sudut pandang yang
lain. Saya kadang membayangkan bagaimana para pengarang itu menemukan ide
cerita. Ramaikah? Diamkah? Atau terlihat normal biasa saja seperti
manusia-manusia lain? Selalu tersenyum sehabis membaca cerpen-cerpen yang
berhasil membuat saya ngeri atau terasa masuk dan menghayati. Sungguh lihai
sekali para penulis itu: Hebat!
Dan satu yang
saya tak lupa. Ketika sampai pada halaman ke enam cerita pendek ke empat, saya
tangkap beberapa baris paragraf yang rasanya sudah pernah saya baca. Dilarang Mencintai Bunga-Bunga –nya
Kuntowijoyo. Ternyata memang sudah pernah saya baca dalam ulangan semester
bahasa Indonesia lalu. Memekik sedikit, kemudian senang: Ah- jadi ini yang kemarin muncul di soal?
Dari batin yang
lain, pikirku ini sekalian aku belajar bahasa Indonesia. (Aku tahu ini sekadar pembelaan- haha) Agar ketika besok ada
soal yang mengutip cerita-cerita orde baru begini, tak perlu lagi saya
menerka-nerka. Tak usah lagi saya justru kebingungan dan menganggap cerita itu
aneh. Perasaan asing itu datang justru karena saya tidak pernah mencoba
menyentuhnya! Sehingga bukan tak mungkin, bila ada penggalan cerita lagi, saya
boleh membatin gembira: O, ini cerita yang
dulu pernah kubaca!
nurrahma, 25 des 2013, shafar 1435 H