Rabu, 25 Desember 2013

Aiih, Cerita yang Itu!




Saya sedang asyik terbius dengan cerita cerita zaman kemerdekaan, kisah-kisah bikinan penulis zaman orde baru. Saya juga tidak tahu mengapa. Mulanya, saya menemukan buku bersampul abu-abu: Cerita Pendek Indonesia IV, Satyagraha Hoerip, editor. Saya temu ia di rak kayu di ruang santai. Baru-baru ini saya dibikin tercengang karena mengetahui banyak buku bagus yang saya kira hanya ada di perpustakaan sekolah, ternyata ada di rumah saya! Heran sungguh, kebanyakan buku-buku lawas, tapi itu yang membuat mereka susah dicari lagi.
Memang, abang saya sedang keranjingan memindah-mindah barang, merapikan perabot, membenahi rumah. Bagus, pikir saya. Sayang, saya belum banyak membantu.
Nah, karena pindah memindah itulah, rak-rak buku ditaruh ruang santai, dan seringlah saya temukan buku yang sudah lama pengin saya baca: Mestakung, Ibnu Batutah, Trilogi Negeri 5 Menara, Sejarah Muhammad, Riyadush Sholihin, dan masih banyak lagi.
Sialnya siang itu, karena suasana sehabis UAS begitu melenakan diri saya, akhirnya saya diketemukan dengan sebuah buku cerita pendek tadi. Saya amati sampulnya. Ada nama-nama pengarang yang saya ingin baca karyanya: Seno Gumira Adjidarma, Emha Ainun Nadjib, Korrie Layun Rampan! Buru buru saya baca sinopsis di sampul  belakang –barangkali ada cuilan atau bocoran karya penulis-penulis itu. Tanpa pikir panjang, saya buka halamannya satu persatu. Kertasnya sudah buluk, cetakan tahun 1986. Makin tua, makin tertantang diri saya untuk membaca. Dan tara! Memang saya temu nama pengarang tadi di daftar isi! Sudah lama saya tak membaca sastra-sastra lama, terakhir hanyalah Salah Asuhan dan itupun saya enggan menghabisinya. Pasti membaca cerita pendek ini lebih menarik.
Saya belum selesai membaca, baru berhasil menelan sembilan cerita: Duka (Wilson Nadeak), Seorang Calon (Usamah), Ayah (Nyoman Rasta Sindhu), Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (Kuntowijoyo), Penjual Kapas (M. Abnar Romli), Kalau Boleh Memilih Lagi (Putu Wijaya), Pancing (PC. Rahardja), Ancaman-Ancaman (Julius R. Siyaranamual), Ayahku (Udin Lubis).
Belum ada separuh buku saja saya sudah begitu semangatnya. Dibikin meletup-letup karena ide yang mereka jadikan cerita sungguh anehnya, tak biasa. Cerita cerita tentang pemberontakan, kematian, kebebasan, mistis, bahkan bom, dari sudut pandang yang lain. Saya kadang membayangkan bagaimana para pengarang itu menemukan ide cerita. Ramaikah? Diamkah? Atau terlihat normal biasa saja seperti manusia-manusia lain? Selalu tersenyum sehabis membaca cerpen-cerpen yang berhasil membuat saya ngeri atau terasa masuk dan menghayati. Sungguh lihai sekali para penulis itu: Hebat!
Dan satu yang saya tak lupa. Ketika sampai pada halaman ke enam cerita pendek ke empat, saya tangkap beberapa baris paragraf yang rasanya sudah pernah saya baca. Dilarang Mencintai Bunga-Bunga –nya Kuntowijoyo. Ternyata memang sudah pernah saya baca dalam ulangan semester bahasa Indonesia lalu. Memekik sedikit, kemudian senang: Ah- jadi ini yang kemarin muncul di soal?
Dari batin yang lain, pikirku ini sekalian aku belajar bahasa Indonesia. (Aku tahu ini sekadar pembelaan- haha) Agar ketika besok ada soal yang mengutip cerita-cerita orde baru begini, tak perlu lagi saya menerka-nerka. Tak usah lagi saya justru kebingungan dan menganggap cerita itu aneh. Perasaan asing itu datang justru karena saya tidak pernah mencoba menyentuhnya! Sehingga bukan tak mungkin, bila ada penggalan cerita lagi, saya boleh membatin gembira: O, ini cerita yang dulu pernah kubaca!

nurrahma, 25 des 2013, shafar 1435 H

Senin, 23 Desember 2013

Penghujung

Desember tiba-tiba datang, tak terasa, ah-penghujung tahun.
Sudah berapa banyak waktu yang kuhabiskan dalam laku, dalam karya?

Duaributigabelas... Seribu empat ratus tiga puluh lima.
Akhirnya aku merasakan euforia pelajar tahun akhir. Senang-kau tahu?
Senang, dan sesal, tentu.
Senang karena semangatku bisa muncul lagi,
senang karena bisa kurasa rindu menggebu pada keluarga yang dua tahun bersama,
senang karena aku dan kawan-kawanku bisa mengeratkan jemari, berlari bersama: Masa depan!

Kalaupun ada sesal, maka itu adalah hasil dari apa yang kulakukan dulu. Betapa sadisnya menginjak-injak waktu: Aih, sudahlah.

Maka yang sekarang bisa kulakukan hanyalah memampatkan sesal dan memompa bahagia.
Semangat ini, jangan sampai habis, jangan sampai kalah dilawan pesimis, spekulasi.
Hei, selalu ada keajaiban, kau tahu! (oh, boleh kaupikir aku adalah pengkhayal)
Tapi itu benar, tak ada yang pasti dan tak ada pula yang tak mungkin kecuali mati.
Maka tak ada salahnya terus berjuang, sekalipun mungkin tak sesuai harapan.
Aku yakin tak ada yang sia-sia, sekecil apapun itu.

Seperti yang Prof Yohannes Surya ungkap: Mestakung, Semesta Mendukung.
Kuanggap itu sebagai pertolongan Alloh, sebagai hasil dari kekuatan berpikir (dan berusaha) positif.


Alloh... Mudahkanlah.


desember 2013/ shafar 1453

Kamis, 03 Oktober 2013

Tentang (sahabat-sahabat) saya.

Keren.
Orientasinya sudah jauh sekali. Jauh, tapi benar. Mengagumkan, dan semua yang masih memiliki nurani akan merasai hal yang sama.

Bersyukur masih diberi nikmat hidup disini, seburuk apapun keadaan yang kita alami.
Tidakkah oksigen ini, udara ini adalah hal terindah yang masih bisa kita rasakan? Tidakkah jantung yang berdetak ini adalah sesuatu yang seharusnya membuat kita mengucap syukur pada Alloh?
Sungguh, darah ini, yang tak henti mengalir dalam mata yang sedang mengerjap, dalam jemari tangan yang menyentuh tuts keyboard ini, dalam segala.

Bersyukur? Sudah cukup di situ? Ah- Sungguh buat apa kita hidup? Tentu untuk menyiapkan bekal. Bekal akhirat. Tak jarang perasaan ingin mengakhiri itu ada, namun sudahkah kita siap dengan apa yang akan kita temui berikutnya? Masih ada sakaratul maut, alam kubur, Padang Mahsyar...

Siapkah? Dengan bekal yang sedikit ini? Sangat sedikit, itupun kalau belum dikurangi dengan dosa dosa saya, dengan trasnpor pahala karena dosa ghibah saya?

Aaah, begitu jauh, begitu tak terjangkau. Pemikirannya sudah melesat. Mimpi, ah memiliki mimpi memang hal yang menakjubkan. Lebih mengagumkan lagi bila kita mencapainya. Sungguh, sukses akhirat dunia bukan hal mudah, tapi bisa dicapai jika mau usaha dan doa.

Bisakah saya?
Selalu. Rasanya masih belum bisa semelesat dia, sehebat dia yang satunya, sesemangat dia yg satunya lagi, sekritis dia yg lain.

Maka mampukah saya? Pantaskah saya bermimpi pula?

Cih, sejak kapan lagakmu jadi seperti pecundang. Sejak kapan kau takut bermimpi?
Bukankah kertas berisikan 100 mimpimu itu kau tulis dengan rekat dan mantap?
Masihkah ia tertempel di hatimu, seperti ia masih ada di pintu kamarmu dulu?

Ayo, lepaskan kungkungan itu.. Optimisme dan kemerdekaan berhak untuk berdiri.
Biarlah mereka lepas, biarlah mereka ada....



-nurrahma, kamar, Dzulqo'idah 1434 H / Oktober 1213 M

ah-tak jelaskah? Biar. Ini tentang sahabat-sahabatku yang istimewa -

Kamis, 04 Juli 2013

Kalah untuk Menang

"Dan tiap kali kita jatuh, tiap kali itu juga kita melatih kekuatan diri untuk bangkit.
Semakin banyak jatuh, semakin banyak bangkit,
maka makin tak terkalahkan dia oleh masalah di kehidupan."
-Ihtar Faiq-

Mataku berbinar ketika kubaca komentar seseorang di sebuah jejaring sosial. Ya, quotes di atas. Ketika aku membacanya, maka tersentuhlah hatiku.
Sungguh, aku tidak berhak menggugat Tuhan atas apa yang terjadi.
Kekalahan-kekalahan itu. Sebenarnya adalah pelajaran yang Alloh berikan untukku.
Kalau aku tak pernah kalah, pantaskah aku berharap menang?
Setiap aku kalah, aku pasti menemukan cara bagaimana agar aku bangkit.
Ketika aku menemui kesulitan itu, aku tahu aku tidak akan kalah lagi karena hal yang sama.

Alloh membuatku kuat.
Alloh membuatku tegar dengan masalah-masalah yang Ia Berikan.
Dia membuatku tahu bagaimana agar aku bisa bangkit disetiap aku kalah, hingga pada saatnya aku bisa menang.
Hingga ketika aku pantas, Alloh Menganugerahkan yang terbaik bagiku.

Alloh... :')


nurrahma, sya'ban 1434 H/Juli 2013

Selasa, 02 Juli 2013

Syukur

Dan We Are The Champions nya Queen ternyata memang berhasil kami dendangkan lewat perolehan medali dan piala juara umum.

Bangga, bahagia.

Akhirnya aku dan keluarga penuh kehangatan ini benar-benar bisa mempersembahkan sesuatu bagi Padmanaba. Bagi Perisai Diri tercinta.

Dan toh, teori yang 25 kemarin disampaikan oleh Mas Jalu ternyata sangat berhasil jika dibersamai dengan do'a. Sungguh, aku benar-benar sudah merasakan ini ada, bahkan sebelum kami  berangkat.

Besok, nama kami akan dipanggil, sebagai juara.

Besok, kami akan tertawa bersama, bahagia, bersyukur.

Kami, Mas Redi, Adek-adek....

Terimakasih ya Alloh...

<3



nurrahma, sya'ban 1434 H/Juli 2013

Rabu, 12 Juni 2013

Hai kalian ;]

Ipeh Nita Efan Rosyid..... <3 Peluk buat kalian semuaaaaa......... ^^9

Hangat

Adakah yang lebih menenangkan daripada pelukan seorang Ibu?


:')

Makasih Ibuk <3


nurrrahma, sya'ban 1434, juni 2013

Senin, 10 Juni 2013

Aku kini.

Bismillaahirrohmaanirrohiim...

Sudah lama tidak benar-benar masuk ke blogku ini.
Terakhir pada desember tahun lalu. Dan dalam kurun waktu enam bulan ini, aku hanya sekadar menengok. Seringkali ada perasaan ingin menulis lagi. Tetapi pada ujungnya aku hanya melamun menatap monitor.
Seperti melihat dari balik kaca. Melihat, menikmati, tapi tak tersentuh.

Sekarang sudah sepuluh juni. Sepuluh juni duaributigabelas.
Lama. Lama sekali semenjak aku ada. Ada dalam artian sesungguhnya. Ada di dunia ini, lahir dengan polosnya dari rahim Ibuku.

Aku.
Apakah aku sekarang? Aku kini malah tidak bisa menjawabnya.
Denting waktu ternyata berjalan sedemikian cepatnya. Sedemikian melenakan.
Tak ada waktu untuk menyesali atau mempertanyakannya.
Ya, ada yang pernah mengatakan bahwa waktu adalah hidup. Waktu adalah kehidupan itu sendiri. Karena toh ada tidaknya diri kita, variabel waktu terus saja berjalan. Satu-satunya hal yang tak bisa dihentikan oleh manusia.

Waktu.
Ia terikat kuat dengan yang namanya takdir.
'Kau percaya takdir?' Pernah ada yang bertanya padaku.
Ah- Bagiku takdirlah yang membawaku ke titik ini.
Aku memiliki Tuhan, Illah, Rabb... Alloh, Alloh Yang Maha Agung, Yang Maha Perkasa...
Mungkin aku bisa merubah takdir, tapi jangan diterima secara mentah. Aku hanya mampu berusaha, berdoa. Pada hasil akhirnya aku menyerahkan pada takdir. Pada apa yang digariskan kepadaku. Yang sudah dituliskan di kitab Lauhul Mahfuzh.

Alloh.
Adalah sebab aku kini berada di sebuah kamar duasetengah kali empat meter ini.
Adalah hal yang membuatku masih mampu bernafas, menghirup udara kotor yang secara otomatis diserap oksigennya oleh paru-paru, baru kemudian dikeluarkan lagi udara yang tidak perlu.
Alloh, adalah alasan mataku mampu mengedip, mempertemukan dua baris bulu mata yang awalnya tidak menyatu.
Ia juga adalah satu-satunya yang membuat jantung dalam tubuhku berdenyut. Memompa darah dengan harmonisnya dengan koordinasi serambi kanan, serambi kiri, bilik kanan, bilik kiri, disertai katup-katup dan pembuluh yang saling melengkapi.
Semua... Tubuhku, aliran darahku, bahkan kerja saraf yang mengagumkan ini...
Semua bersumber dari satu hal; ALLOH. Ar-Rahmaanurrahiim.

Maka pantaskah aku justru hidup tidak dengan aturan Alloh?
Sungguh pertanyaan itu tidak perlu dijawab.

Aku. Kini.

Aku sudah berubah, berbeda. Ah-hanya lahiriah. Apakah batinmu juga sudah berubah?

Aku. Harusnya itu yang aku katakan pada diriku: Apa bedanya rizka hari ini dengan rizka kemarin?

Jangan hanya diam di satu titik ini. Harusnya bisa lebih baik, jauh lebih baik dari sekarang.




-nurrahma, 10 juni 2013, 1 Sya'ban 1434 H-